Guru Dominasi Pelaku Kekerasan Di Lembaga Pendidikan Indonesia
Pada tanggal 27 Desember 2024, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) merilis laporan yang mengejutkan mengenai kekerasan di lembaga pendidikan. Dalam laporan tersebut, JPPI mencatat bahwa sebanyak 43,9 persen dari pelaku kekerasan di sekolah adalah guru. Temuan ini menyoroti masalah serius yang perlu ditangani untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman bagi siswa.
Laporan JPPI menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan di sekolah meningkat drastis dari 285 kasus pada tahun 2023 menjadi 573 kasus pada tahun 2024. Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menjelaskan bahwa perilaku kekerasan sering kali dilakukan oleh guru sebagai bentuk pendisiplinan. Hal ini menunjukkan adanya pola yang merugikan, di mana metode pendisiplinan yang seharusnya mendidik justru berujung pada tindakan kekerasan.
Menariknya, meskipun banyak guru menjadi pelaku kekerasan, mereka juga sering menjadi korban. Data menunjukkan bahwa sekitar 10,2 persen guru mengalami kekerasan, baik dari siswa maupun orang tua. Kasus-kasus ini mencakup pemukulan oleh orang tua dan tindakan kriminalisasi terhadap guru. Ini menandakan bahwa lingkungan sekolah tidak hanya berbahaya bagi siswa tetapi juga bagi tenaga pendidik.
Ubaid menekankan bahwa penggunaan metode pendisiplinan yang melibatkan hukuman fisik harus dihentikan. Ia mengungkapkan bahwa pendekatan ini memberikan legitimasi bagi tindakan kekerasan di sekolah dan dapat menyebabkan siswa menilai perilaku tersebut sebagai hal yang wajar. Kepala Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Irsyad Zamjani, juga mengingatkan bahwa tindakan kekerasan oleh guru dapat menjadi justifikasi bagi siswa untuk melakukan kekerasan terhadap teman-temannya.
Dengan meningkatnya jumlah kasus kekerasan di sekolah, JPPI menyerukan perlunya kolaborasi antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih aman. Kebijakan pencegahan kekerasan harus diterapkan secara konsisten dan melibatkan semua pemangku kepentingan. Hal ini penting agar sekolah dapat menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi semua siswa tanpa adanya ancaman kekerasan.
Dengan perhatian yang lebih besar terhadap isu kekerasan di lembaga pendidikan, diharapkan akan ada perubahan positif dalam pendekatan pendisiplinan dan perlindungan anak di sekolah. Menciptakan budaya non-kekerasan dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan inklusif adalah langkah-langkah penting untuk memastikan keselamatan dan kesejahteraan siswa serta guru di seluruh Indonesia.