Fenomena Investasi Bodong: Mengapa Semakin Marak di Indonesia?
Investasi ilegal telah menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat Indonesia, dengan total mencapai Rp139,67 triliun dalam periode 2017-2023. Setiap hari, selalu ada laporan baru mengenai korban yang terjerat skema investasi palsu. Hingga awal 2024, setidaknya 1.218 entitas investasi ilegal telah diblokir oleh pihak berwenang.
Kelompok yang paling rentan terhadap modus ini adalah Pekerja Migran Indonesia (PMI). Ketua Sekretariat Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal OJK, Hudiyanto, mengungkapkan bahwa buruh migran kerap menjadi sasaran karena memiliki penghasilan yang signifikan dari kerja keras mereka di luar negeri.
Minimnya pemahaman mengenai pengelolaan keuangan membuka celah bagi para pelaku investasi bodong untuk menjerat korban. Sayangnya, hingga saat ini pemerintah masih mengalami kesulitan dalam melacak dan menindak tegas para pelaku penipuan tersebut.
Izzudin Al Farras, Head of Center Digital Economy and SMEs di INDEF, menyoroti lemahnya penegakan hukum terkait investasi ilegal di Indonesia. Ia menekankan bahwa aparat hukum harus menyediakan akses pelaporan yang lebih mudah, misalnya dengan menerapkan sistem pelaporan satu pintu.
Sejatinya, aturan hukum terkait kejahatan ini sudah tercantum dalam berbagai regulasi, seperti UU Pasar Modal, UU Perbankan, KUHP, serta UU Perlindungan Konsumen. Namun, tantangan utama terletak pada implementasi dan komitmen pemerintah dalam menindak pelaku.
Menurut Izzudin, masyarakat sangat membutuhkan sistem hukum yang responsif dan mekanisme pelaporan yang lebih mudah diakses agar pelaku investasi ilegal mendapatkan hukuman yang setimpal dan memberikan efek jera.
Di sisi lain, rendahnya tingkat literasi keuangan di kalangan masyarakat Indonesia juga menjadi faktor yang memperparah situasi. Hal ini terjadi meskipun akses terhadap layanan keuangan sudah cukup luas.
Literasi keuangan mencakup pemahaman, keterampilan, serta keyakinan seseorang dalam mengambil keputusan terkait finansial, sedangkan inklusi keuangan merujuk pada ketersediaan akses terhadap layanan keuangan. Untuk mengatasi masalah ini, edukasi keuangan yang lebih masif perlu digencarkan, terutama bagi masyarakat pedesaan serta kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda, menyoroti lemahnya keamanan digital di Indonesia. Ia menilai bahwa pemerintah belum maksimal dalam menangani penyebaran informasi terkait investasi ilegal, yang bahkan masih beredar luas di berbagai platform media sosial dan aplikasi percakapan.
Huda juga mengkritisi vonis ringan terhadap pelaku yang tidak menimbulkan efek jera. Ia mengungkapkan bahwa iklan-iklan investasi ilegal terus bermunculan, bahkan dalam konten yang dibuat oleh para kreator digital. Oleh sebab itu, ia mendesak pemerintah untuk mengambil langkah tegas dalam menghentikan penyebaran informasi yang menyesatkan tersebut.
Sementara itu, ekonom Core Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai bahwa ada dua akar utama maraknya investasi bodong di Indonesia.
Pertama, rendahnya literasi keuangan yang membuat masyarakat mudah tergiur janji keuntungan instan. Kedua, lemahnya pengawasan serta sistem keamanan digital yang memberi celah bagi pelaku untuk terus beraksi.
Yusuf menyarankan agar pemerintah mengambil langkah komprehensif, seperti meningkatkan edukasi keuangan melalui penyuluhan dan kampanye informasi yang lebih intensif. Selain itu, regulasi terkait investasi juga perlu diperkuat guna mencegah serta mendeteksi modus operandi baru yang digunakan oleh para pelaku.
Kolaborasi antara pemerintah, sektor perbankan, dan otoritas pengawas keuangan menjadi kunci dalam menekan penyebaran investasi ilegal. Penerapan hukuman yang lebih tegas, seperti denda besar, penyitaan aset, hingga hukuman penjara jangka panjang, juga diperlukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku.
Pengamat Ekonomi Digital, Heru Sutadi, bahkan menyoroti bahwa tidak hanya investasi ilegal yang merugikan masyarakat, tetapi juga beberapa investasi legal yang dinilai kurang transparan. Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan otoritas terkait masih belum optimal.